YOGYAKARTA — Salah satu sebab mengapa data angka stunting yang selama ini dipakai untuk perencanaan dan perumusan kebijakan adalah data hasil survei dan bukan data riil hasil pendataan adalah karena pendataan yang dilakukan selama ini masih jauh dari 95 persen sasaran terdata. Untuk diketahui, cakupan 95 persen pendataan secara metodologis dianggap sudah memadai untuk disimpulkan.
Kenyataannya, cakupan pendataan stunting melalui aplikasi EPPGBM secara nasional belum mencapai 60 persen. EPPGBM merupakan singkatan dari (aplikasi) Elektronik Pendataan dan Pelaporan Gizi Berbasis Mayarakat. Data yang dilaporkan berbasis elektronik ini sepanjang terkait stunting didapatkan dari pengukuran terhadap setiap balita saat pelayanan di Posyandu.
Dalam kaitan ini Kepala BKKBN Hasto Wardoyo pada kesempatan Rakerda Program Bangga Kencana di Hote Melia Purosani Yogyakarta bulan Maret lalu menyampaikan pesan kepada seluruh jajarannya untuk turut mengkondisikan agar EPPGM dapat dituntaskan. Hasto berharap Penyuluh KB turut mengawal kegiatan Posyandu di wilayah kerja masing-masing agar dapat dipastikan seluruh balita terukur berat dan tinggi bandannya.
Sementara itu dalam Workshop Verifikasi dan Validasi Keluarga Resiko Stunting secara daring, Selasa (02/04/2024) Kepala Perwakilan BKKBN DIY Andi Ritamariani meneruskan pesan Kepala BKKBN kepada jajarannya, terutama seluruh Penyuluh KB yang mengikuti workshop daring tersebut.
“Bulan April ini secara serentak di seluruh wilayah diharapkan pengukuran balita tersebut bisa dilakukan dengan cakupan minimal 95 persen agar didapatkan data angka stunting yang lebih meyakinkan sebagai pembanding data stunting yang didapatkan dengan cara survei,” demikian pesan Andi Ritamariani kepada para Penyuluh KB. Dengan demikian nantinya akan didapatkan data atau angka prevalensi stunting yang lebih mendekati kondisi stunting yang sebenarnya.
Belum dipakainya data stunting pada EPPGBM sebagai data resmi penanganan stunting, namun memakai data hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) adalah karena beberapa alasan. Selain cakupan pengukuran yang masih rendah (dibawah 60 persen sasaran pengukuran), juga karena standarisasi pengukuran yang belum merata. Untuk mengukur tinggi dan berat badan misalnya dibutuh alat yang yang tepat dan cara penggunaan yang benar.
Pengukuran Dan Pelaporan Stunting Di Posyandu
Posyandu memiliki 5 meja pelayanan yaitu registrasi, kemudian dilanjutkan dengan penimbangan, pencatatan, penyuluhan dan pelayanan kesehatan. Di meja ke dua dan ketiga inilah peran penting dalam akurasi pelaporan data hasil pengukuran balita. Setelah dilakukan penimbangan maupun pengukuran tinggi badan hasilnya akan di catat di KMS dan juga di buku pencatatan kader posyandu. Keakuratan dalam pengukuran, pencatatan dan pelaporan inilah yang nantinya akan menentukan bagaimana status gizi seorang balita dilihat dari pengukuran dtinggi dan berat badannya.
Idealnya seluruh posyandu harus memiliki antropometri kit, dimana didalamnya terdiri dari Satu set alat antropometri yaitu alat ukur berat badan bayi (baby scale) dan balita; alat ukur berat badan injak digital (standing weight); alat ukur panjang badan (infantometer/lenghthboard); alat ukur tinggi badan (stadiometer); Pita Lingkar Lengan Atas (LiLA)/LKA; dan tas antropometri set.
Bagi balita dan anak di atas dua tahun dapat diukur tingginya dengan stadiometer atau pengukur tinggi badan biasa. Sedangkan untuk bayi di bawah usia dua tahun istilah yang digunakan adalah pengukuran panjang badan dan berat badan. Pengukurannya dilakukan dengan alat yang disebut infantometer. Bayi diletakkan di atas infantometer dengan posisi kepala menempel pada head board atau bagian dan telapak atau tumit menempel pada bagian foot board atau bagian kaki alat. Sedangkan untuk juga mengukur atau menimbang berat badan digunakan alat penimbang khusus, dan dianjurkan memakai timbanan digital.
Penggunaan alat-alat tersebut tentunya membutuhkan SDM petugas yang memahami alat dengan benar. Pada sebagian Posyandu masih dijumpai petugas atau kader yang belum sepenuhnya paham penggunaan alat-alat tersebut secara benar sehingga hasil pengukuran belum meyakinkan untuk diperlakukan sebagai data stunting yang akurat, sehingga selama ini kebijakan pemerintah adalah menggunakan data SSGI atau hasil survei yang petugasnya dipastikan menguasai penggunaan alat ukur tersebut.
Terdapat dua cara (metode) untuk mendapatkan data atau angka stunting di suatu wilayah, yaitu melalui pendataan atau melalui survei yang masing-masing memiliki keunggulan dan kelemahan. Yang pertama dengan mendata seluruh populasi balita. Data yang dikumpulkan meliputi tingi dan berat badan serta sejumlah indikator lainnya. Hasilnya tentu akan akurat dibandingkan survei, namun memiliki sejumlah kelemahan karena membutuhkan waktu yang lama, serta akurasi pengukuran karena kualitas alat ukur dan kemampuan petugas pengukur sehingga hasilnya bisa bias. Sebaliknya melalui survei angka stunting bisa didapatkan lebih cepat karena pengukuran hanya terhadap sampel.
Verifikasi dan Validasi Keluarga Resiko Stunting (Verval KRS)
Berdasarkan hasil Pendataan Keluarga 2021 (PK21) yang telah diupdate setiap tahun pada 2022 dan 2023 dapat ditarik data jumlah dan kondisi keluarga-keluarga. Dari hasil pendataan keluarga tersebut antara lain dapat diketahui data terkait keluarga Pasangan Usia Subur (PUS) yang hamil, keluarga dengan anak di bawah dua tahun (baduta), dan keluarga dengan balita. Kasus stunting paling banyak ditemukan pada ketiga kelompok keluarga tersebut, sehingga keluarga dengan kondisi tersebut merupakan kelompok sasaran garapan untuk pencegahan stunting.
Maka kondisi ketiga kelompok tersebut perlu dicermati dengan metode tertentu agar dipersempit lagi dengan cek silang dengan item-item PK21. Yang pertama adalah apakah keluarga tersebut memiliki akses atas sumber air minum yang layak. Jika tidak memiliki sumber air yang layak (PAM, air kemasan, sumur atau mata air terlindung, maka akan dikelompokkan sebagai keluarga resiko stunting.
Selanjutnya akan ditapiskan lagi dikaitkan dengan kepemilikan atau akses jamban yang sehat dan kategori PUS keluarga tersebut. Apakah mereka memiliki catatan 4T (empat terlalu) yaitu terlalu muda, atau terlalu tua saat hamil/melahirkan, dan terlalu dekat jarak melahirkan serta terlalu banyak memiliki anak.
Dengan mengkombinasikan kedua kelompok parameter yang semuanya ada pada pendataan kelurarga maka hasilnya adalah data kelompok keluarga yang beresiko tinggi menghadapi masalah stunting pada anak-anak mereka. Memang tidak otomatis berarti memiliki anak stunting, sehingga data tersebut dapat digunakan untuk memetakan dalam pengertian mempersempit kelompok sasaran pemantauan dan tindakan yang diperlukan agar angka stunting dapat ditekan.
Dengan upaya para Penyuluh KB bersama Kader KB dan Kader Kesehatan meningkatkan cakupan pengukuran EPPGBM dan pengerucutan data keluarga resiko stunting melalui verifikasi dan validasi tersebut akan semakin meningkatkan fokus upaya percepatan pengetasan stunting. Hal ini terwujud karena tersedianya data angka stunting yang lebih pasti, dan tersedianya data kelompok sasaran yang beresiko stunting.
Penulis : FX Danarto SY
Editor : Dewi Setyarum M