Oleh : MZ. Fathurachman
Pada tanggal 5 Agustus 2021, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 72 tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting. Peraturan ini merupakan wujud komitmen pemerintah dalam mempercepat pencapaian target penurunan stunting menjadi 14 persen pada 2024, sesuai amanat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024. Perpres tersebut memuat acuan yang harus dicapai oleh pihak-pihak terkait dalam pelaksanaan percepatan penurunan stunting. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) diamanatkan sebagai lembaga pemerintah yang bertugas sebagai koordinator dalam Program Percepatan Penurunan Stunting. Di dalam Perpres ini, termaktub arahan secara normatif dan terintegrasi mulai dari ketentuan umum, pihak yang dilibatkan, pendanaan, hingga evaluasi.
Untuk melaksanakan strategi nasional percepatan penurunan stunting, perlu disusun rencana aksi nasional melalui pendekatan keluarga berisiko stunting yang ditetapkan oleh Kepala BKKBN sebagaimana diatur dalam pasal 8 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting. Untuk itu Kepala BKKBN menetapkan Peraturan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Nomor 12 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Angka Stunting Indonesia Tahun 2021-2024. Strategi Percepatan Penurunan Stunting dilakukan melalui pelaksanaan kegiatan prioritas rencana aksi nasional Percepatan Penurunan Stunting. Kegiatan prioritas rencana aksi meliputi:
Penyediaan data keluarga berisiko stunting
Pendampingan keluarga berisiko stunting
Pendampingan semua calon pengantin/calon pasangan usia subur
Surveilans keluarga berisiko Stunting
Audit kasus stunting
Perencanaan dan penganggaran
Pengawasan dan pembinaan akuntabilitas penyelenggaraan kegiatan percepatan penurunan stunting
Pemantauan, evaluasi dan pelaporan.
Akhir tahun 2021, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia merilis hasil Studi Status Gizi Indonesia tahun 2021 (SSGI 2021). Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui besaran masalah status gizi balita (stunted, wasted, dan underweight) tingkat Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota, dan memperoleh faktor determinan terjadinya stunted, wasted, dan underweight di Indonesia. Hasil dari SSGI 2021 juga menjadi dasar bagi evaluasi dan penilaian kemajuan intervensi konvergensi (spesifik dan sensitif) dari berbagai kementrian dan lembaga baik di Pusat maupun di Daerah (Aksi Delapan Konvergensi). Hasil SSGI 2021 menunjukkan bahwa prevalensi balita stunted di Indonesia sebesar 24,4 persen, mengalami penurunan dari periode sebelumnya 27,7 persen (SSGBI 2019), dan 30,8 persen (Riskesdas 2018). Prevalensi stunting di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menurut SSGI 2021 sebesar 17,3 persen. Angka ini merupakan peringkat ke-tiga terendah se-Indonesia setelah Bali 10,9 persen, dan DKI Jakarta 16,8 persen. Jika dibandingkan dengan hasil SSGBI 2019 yang sebesar 21 persen, maka telah terjadi penurunan prevalensi stunting di DIY pada tahun 2021 sebesar 3,7 persen. Prevalensi balita stunted di masing-masing Kabupaten/Kota se-DIY berturut-turut dari yang tertinggi ke terendah berdasarkan SSGI 2021 adalah : Gunungkidul 20,6 persen; Bantul 19,1 persen; Kota Yogyakarta 17,1 persen; Sleman 16,0 persen; dan Kulon Progo 14,9 persen.
Dalam pertemuan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) BKKBN tahun 2023 tanggal 25 Januari 2023 bertempat di ruang NKKBS BKKBN yang dihadiri oleh Presiden RI Joko Widodo, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam sambutannya menyampaikan untuk pertama kalinya di hadapan publik hasil Studi Status Gizi Indonesia tahun 2022 (SSGI 2022). Beliau menyampaikan bahwa angka stunting SSGI turun dari 24,4 persen di tahun 2021 menjadi 21,6 persen di tahun 2022, atau sebesar 2,8 persen dalam setahun. Walaupun belum mencapai target penurunan 3,5 persen setahun, Menkes menyampaikan apresiasinya kepada seluruh pihak terkait atas capaian ini. Menurut beliau, angka ini cukup impresif mengingat pada periode ini kita masih dalam periode Pandemi Covid-19, dan beliau optimis di tahun 2023 hingga 2024 capaian penurunan stunting akan lebih besar lagi karena koordinasi dan kerjasama antar pihak dan lembaga semakin baik. Selain itu, Pandemi Covid-19 saat ini sudah mulai teratasi sehingga energi kita bersama dapat lebih difokuskan untuk keberhasilan program ini. Dengan trend yang ada, untuk mencapai target 14 persen di 2024 maka pencapaian SSGI pada tahun 2023 diharapkan kelak tercapai pada angka 17,8 persen, atau terjadi penurunan prevalensi stunting 3,8 persen setiap tahunnya dalam 2 tahun ke depan. Angka yang tidak sedikit, tetapi kita harus yakin dan optimis mampu mencapainya.
Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022 memberikan gambaran status gizi balita (stunting, wasting, underweight, dan overweight) dan determinannya meliputi indikator intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif menggunakan metode two stage stratified sampling secara potong lintang (cross-sectional). Jumlah sampel sebanyak 334.848 bayi dan balita di 486 Kabupaten/Kota pada 33 Provinsi se-Indonesia. Pengumpulan data melalui pengukuran antropometri (berat badan, panjang/tinggi badan balita, LiLa Remaja Putri, Wanita Usia Subur & Ibu Hamil) menggunakan alat terstandar dan wawancara, dengan response rate yang didapat 91,4 persen.
Dalam SSGI 2022 terdapat Indikator Gizi Spesifik dan Indikator Gizi Sensitif. Indikator Gizi Spesifik diantaranya: Pemeriksaan Kehamilan (Antenatal Care); Imunisasi Rutin dan Dasar Lengkap; Pemantauan Pertumbuhan Balita; Tablet Tambah Darah Ibu hamil dan Remaja Puteri; Akses Pencarian Pengobatan Balita Sakit; Pemberian Obat Cacing; Pemberian Makanan Tambahan Balita dan Ibu Hamil. Indikator Gizi Sensitif antara lain: Akses Sanitasi Layak; Jaminan Kesehatan; Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD); KB; Bantuan sosial (PKH, BPNT ,BLT, dll); Rumah sehat Ketahanan Pangan Keluarga; Keragaman Pangan Balita.
Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, dan Sumatera Selatan merupakan tiga provinsi dengan penurunan stunting paling besar, dengan penurunan rata-rata lebih dari 5 persen. Selain itu provinsi besar dengan jumlah responden absolut yang sangat besar seperti Jawa Barat dan Jawa Timur juga mengalami penurunan prevalensi lebih dari 4 persen, sehingga berkontribusi besar dalam penurunan prevalensi stunting Indonesia pada SSGI 2022. DIY mengalami penurunan prevalensi stunting 0,9 persen dari 17,3 persen (SSGI 2021) menjadi 16,4 persen (SSGI 2022). Hasil ini patut disyukuri walaupun belum sesuai dengan harapan kita bersama. Capaian ini harus menjadi cambuk motivasi agar DIY meningkatkan upaya agar mampu meraih penurunan prevalensi stunting yang lebih baik hingga dua tahun ke depan. Walaupun mengalami penurunan prevalensi stunting dibandingkan SSGI 2021, DIY mengalami penurunan peringkat secara nasional dari peringkat 3 pada SSGI 2021 di bawah DKI Jakarta dan Bali, menjadi peringkat 5 pada SSGI 2022, tersalip oleh Kepulauan Riau di peringkat 4 dan Lampung di peringkat 3, lalu seperti tahun sebelumnya DKI menduduki peringkat 2 dan Bali masih menjadi peringkat 1.
Prevalensi balita stunted di masing-masing Kabupaten/Kota se-DIY berturut-turut dari yang tertinggi ke terendah berdasarkan SSGI 2022 adalah : Gunungkidul 23,5 persen, meningkat dari 20,6 persen (SSGI 2021); Kulon Progo 15,8 persen, meningkat dari 14,9 persen (SSGI 2021); Sleman 15 persen, menurun dari 16,0 persen (SSGI 2021); Bantul 14,9 persen, menurun dari 19,1 persen (SSGI 2021); dan Kota Yogyakarta 13,8 persen, menurun dari 17,1 persen (SSGI 2021). Secara absolut terjadi penurunan prevalensi stunting di DIY dibanding tahun lalu, akan tetapi perlu menjadi perhatian khusus bagi Kabupaten Gunungkidul dan Kabupaten Kulo Progo yang justru mengalami kenaikan prevalensi stunting di SSGI 2022.