Mudik 2024 dan Refleksi Masalah Kependudukan DIY

Artikel ini telah dimuat di Harian Jogja Sabtu 20 April 2024, Aspirasi Halaman 9

Pada periode Idulfitri 2024, Kementerian Perhubungan memperkirakan jumlah masyarakat yang melakukan mudik mencapai 193,6 juta jiwa, meningkat 13,7% dari tahun sebelumnya. Ini berarti hampir 70% penduduk melakukan mudik, karena menurut data kependudukan Direktorat Jendral Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, jumlah penduduk Indonesia pada Desember 2023 mencapai 280,73 juta jiwa.

Dampak Lebaran terhadap perekonomian daerah serta aspek budaya terkait fenomena mudik sudah banyak diulas. Tulisan ini mengajak pembaca untuk merefleksikan hal lain yaitu permasalahan kependudukan. Pertanyaan yang selalu mengusik tiap menjumpai fenomena mudik dan arus balik adalah apakah para pemudik setelah puas mudik akan mengajak pendatang tambahan saat arus balik? Pertanyaan ini muncul karena mudik adalah pergerakan penduduk yang mampu mengubah demografi suatu wilayah.

Saat belajar di sekolah, diajarkan bahwa pertambahan penduduk suatu wilayah terjadi karena adanya selisih antara jumlah kelahiran dengan jumlah kematian, serta antara jumlah migrasi masuk dengan migrasi keluar pada suatu periode waktu tertentu. Jika selisih tersebut positif maka jumlah penduduk bertambah, sedangkan bila sebaliknya maka jumlah penduduk menurun.

DIY telah menjadi daerah tujuan atau penerima migran. Pertumbuhan penduduk DIY lebih banyak disumbang oleh selisih positif migrasi masuk yang lebih besar dari migrasi keluar. Jogja telah sejak dahulu menjadi tujuan para pelajar dari berbagai daerah untuk menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan tidak sedikit yang kemudian bekerja dan menetap. Jumlah kelahiran tidak menyumbang terhadap pertambahan penduduk DIY karena angka kelahiran yang rendah.

Pertumbuhan penduduk yang disumbang oleh migrasi masuk juga bisa ditunjukkan oleh indikator angka kelahiran atau TFR (Total Fertility Rate). Angka kelahiran atau TFR (rata-rata jumlah anak yang dilahirkan perempuan) di DIY hanya 1,8 dan tidak mencapai 2. TFR DIY sebesar 1,8 berarti rata-rata perempuan yang tinggal di DIY selama usia produktifnya punya anak kurang dari dua.

Jika tidak ada faktor lain maka jumlah penduduk DIY akan menurun. Ini berarti jika tidak ada migrasi masuk yang lebih besar dari migrasi keluar maka pertumbuhan penduduk DIY akan minus atau semakin berkurang. Kenyataannya DIY mengalami pertambahan jumlah penduduk dari tahun ke tahun.

Fenomena angka kelahiran di bawah dua dialami negara-negara maju seperti Jepang, China dan negara-negara Eropa serta negara maju lainnya. Dampaknya pertumbuhan penduduk terancam minus bila tidak disokong oleh migrasi dari negara lain, umumnya dari negara-negara berkembang. Baik sebagai migran tetap maupun sementara. Amerika dengan Green Card, Kanada, dan sejumlah negara maju bahkan mengundang profesional dengan skill dan keahlian untuk menetap di negara tersebut.

Refleksi Kebijakan

Muncul kekhawatiran sejumlah pakar kependudukan yang berharap DIY tidak lagi diberikan target penurunan TFR lebih rendah lagi jika hanya untuk mengkatrol penurunan TFR secara nasional. Perlu diperhatikan bahwa disparitas TFR antarprovinsi cukup besar karena ada provinsi lain, NTT misalnya, memiliki TFR 2,7. Jika diturunkan sampai tingkat kabupaten tentu angkanya akan ada yang lebih besar lagi. Salah satu pakar yang memprihatinkan hal ini adalah pakar UGM Prof Sukamdi yang mencemaskan angka TFR DIY bisa turun sampai 1,6 bila kecenderungan yang terjadi dibiarkan saja oleh pemerintah.

Berkaca dari pengalaman negara-negara maju tersebut, apakah untuk DIY perlu cara pandang dan kebijakan promosi pengendalian pertumbuhan penduduk dengan pemakaian kontrasepsi? Memang secara nasional TFR Indonesia masih berkisar 2,2 dan DIY merupakan penyumbang menuju TFR ideal nasional sebesar 2,1. Namun ketika TFR DIY sudah jauh di bawah TFR ideal, mulai muncul kekhawatiran DIY akan mengalami pertumbuhan penduduk minus yang tentunya tidak dikehendaki.

Promosi penggunaan alat kontrasepsi tetap perlu didorong walau angka kelahiran DIY sudah termasuk yang terendah bersama DKI dan Bali. Alasannya adalah karena penggunaan kontrasepsi merupakan cara untuk mencegah kehamilan yang tidak diinginkan atau tidak direncanakan. Kontrasepsi dapat mencegah wanita dengan usia rawan agar tidak hamil yang akan berdampak buruk pada kesehatan dan keselamatan ibu serta anak, juga mencegah ibu dengan balita agar tidak kembali hamil saat masih harus merawat bayi secara intensif. Jadi walau TFR sudah rendah, promosi alat kontrasepsi harus tetap digencarkan demi menekan angka kematian ibu dan anak.

Untuk bahan refleksi selanjutnya, sebuah penelitian oleh Muhammad Arif Fahrudin Alfana dkk yang dipublikasikan di NATAPRAJA, Jurnal Kajian Ilmu Administrasi Negara pada 2015 menunjukkan hasil yang menarik untuk dikaji lebih lanjut. Penelitian yang dilakukan di Sleman itu antara lain mengungkap bahwa kaum migran yang masuk ke Sleman cenderung memiliki TFR yang lebih tinggi dari penduduk nonmigran atau penduduk “asli”.

Dengan kata lain pendatang di Sleman memiliki jumlah anak riil (maupun jumlah ideal yang diinginkan) rata-rata lebih banyak dari penduduk setempat. Bagi DIY sebagai daerah istimewa berdasarkan kebudayaan, maka fenomena migran yang cenderung mempunyai anak lebih banyak dibanding penduduk “asli” menarik untuk diteliti lebih lanjut. Apakah setelah hampir 10 tahun kecenderungan itu masih ada atau jangan-jangan justru makin membesar, serta apakah memengaruhi keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta yang berbasis budaya ini.

Sebagai daerah yang harus mempertahankan keistimewaan budayanya, Pemerintah DIY tentu tidak ingin sampai harus meniru Jepang memprovokasi warganya untuk menikah dan punya anak. Atau seperti Amerika, berusaha menarik pendatang dari provinsi lain untuk menetap. Atau memang sudah harus begitu?

 

Penulis : FX Danarto SY

 

Post Terkait