Hari Ayah merupakan hari untuk memberikan penghormatan dan penghargaan khusus bagi seluruh ayah di dunia. Hari Ayah pertama kali diperingati di Amerika Serikat, dimulai di kota Spokane, Washington, pada tahun 1909 atas inisiatif seorang wanita bernama Sonora Smart Dodd. Berkat upaya Sonora, perayaan Hari Ayah pertama berlangsung di Spokane pada 19 Juni 1910, bertepatan dengan hari ulang tahun ayahnya. Hari Ayah kemudian semakin populer di tahun-tahun berikutnya, dengan beberapa negara bagian lain mulai ikut memperingatinya.
Di Indonesia, hari ayah diperingati setiap tanggal 12 November, Hari Ayah lahir diprakarsai oleh paguyuban Satu Hati, lintas agama dan budaya yang bernama Perkumpulan Putra Ibu Pertiwi (PPIP). Hal ini bermula pada saat PPIP mengadakan peringatan Hari Ibu di Solo melalui Sayembara Menulis Surat untuk Ibu. Setelah acara selesai, panitia terkejut dengan pertanyaan dari para peserta, “Kapan ada Sayembara Menulis Surat untuk Ayah? Kapan Hari Ayah dirayakan? kami pasti ikut lagi” Pertanyaan ini mendorong PPIP untuk mencari tahu kapan Hari Ayah diperingati di Indonesia. PPIP kemudian melakukan audiensi dengan DPRD Surakarta, setelah melalui kajian panjang, Hari Ayah Nasional akhirnya dideklarasikan pada 12 November. Deklarasi ini digabungkan dengan peringatan Hari Kesehatan, dengan slogan “Semoga Bapak Bijak, Ayah Sehat, Papah Jaya.”
Hari Ayah diperingati untuk menghargai pengorbanan, cinta, dan peran penting ayah dalam kehidupan anak-anak mereka. Meskipun selama ini perhatian seringkali lebih banyak diberikan kepada peran ibu dalam pengasuhan anak, penting untuk kita juga mengakui dan merayakan betapa pentingnya kontribusi ayah dalam membentuk masa depan anak-anak mereka.
Ada pepatah yang cukup terkenal dalam bahasa Inggris, “Anyone can be a father, but it takes a real man to be a daddy.” Dalam bahasa Indonesia, sulit menemukan arti yang tepat untuk membedakan antara father dan daddy. Istilah daddy digunakan sebagai panggilan sayang dari seorang anak kepada ayahnya, mencerminkan kehangatan dan kedekatan dalam hubungan mereka. Di sisi lain, father lebih merujuk pada status resmi seorang pria yang mempunyai anak. Menjadi seorang father adalah hal yang secara alami diperoleh seorang pria saat ia mempunyai anak. Namun, untuk menjadi daddy, dibutuhkan sosok yang benar-benar dekat dan terlibat dengan anak-anaknya. Seorang pria otomatis mendapatkan gelar father ketika mempunyai, tetapi belum tentu ia juga akan mendapatkan status sebagai daddy oleh anak-anaknya.
Beberapa tahun yang silam, banyak anak tumbuh dalam lingkungan “keluarga luas” (extended family), yaitu keluarga yang tinggal bersama di satu rumah, terdiri dari kakek-nenek, ayah-ibu, anak-anak, bahkan paman-bibi dan saudara sepupu. Anak-anak dalam keluarga ini mendapatkan perhatian dan interaksi sosial yang lebih intensif dibandingkan dengan anak-anak masa kini. Saat ini, terutama di daerah perkotaan, sebagian besar keluarga adalah “keluarga inti” (nuclear family) yang hanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak.
Dalam keluarga luas, perawatan anak mendapat perhatian dari banyak orang, sementara dalam keluarga inti, tugas merawat dan mendidik anak sepenuhnya menjadi tanggung jawab ayah dan ibu. Tanggung jawab ini terasa lebih berat bagi orang tua sekarang karena mereka tidak mendapat dukungan dari anggota keluarga lain. Hal sederhana seperti bercerita untuk anak sering kali sulit dilakukan oleh orang tua modern yang lelah akibat pekerjaan sehari-hari. Padahal, waktu untuk bercerita sangat penting sebagai cara efektif dan alami untuk menyampaikan nilai-nilai moral kepada anak.
Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa anak belum memiliki karakter tertentu, belum memiliki bentuk jiwa yang tetap, dan masih bersifat umum. Pandangan serupa disampaikan oleh John Locke, yang mengibaratkan anak seperti kertas kosong. Lingkunganlah yang nantinya akan membentuk sisi kognitif dan kepribadiannya. Anak yang diasuh oleh orang tua dengan pola asuh yang baik tentu akan tumbuh menjadi pribadi yang baik pula. Pola asuh yang efektif adalah orangtua mampu menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi anak serta mendukung perkembangan mereka. Oleh karena itu, keluarga khususnya ayah memainkan peran penting dan krusial untuk membimbing anak menjadi individu yang bermanfaat bagi lingkungannya.
Pengamatan terhadap keluarga-keluarga di Indonesia secara umum menunjukkan bahwa tanggung jawab mendidik dan merawat anak lebih sering dianggap sebagai tugas ibu. Sebagian besar majalah dan buku yang membahas cara mendidik anak pun ditujukan kepada kaum ibu. Padahal, sosok ayah juga memiliki peran penting dalam mendidik anak. Ironisnya, ketika seorang ibu menginginkan lebih banyak keterlibatan dari ayah, para ayah sering kali berpendapat bahwa tanggung jawab mendidik anak seharusnya dan sepenuhnya berada di tangan ibu.
Dengan demikian, peran ayah dalam mendidik anak menjadi bagian penting dalam menjalani kehidupan berkeluarga. Keikutsertaan ayah dalam mendidik anak bukan hanya berdampak positif pada perkembangan anak, tetapi juga mempererat ikatan keluarga.
Penulis : Dimas
Referensi :
Efendi, M. Y. (2019). Ayah Juara, 7 Hari Menjadi Ayah Qur’ani. Era Adicitra Intermedia.
Elia, H. (2000). Peran ayah dalam mendidik anak.
Muthmainnah, M. (2012). Peran Orang Tua dalam Menumbuhkan Pribadi Anak yang Androgynius Melalui Kegiatan Bermain. Jurnal Pendidikan Anak, 1(1).