YOGYAKARTA – Pola pergaulan remaja yang keliru salah satunya dapat menimbulkan kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) atau populer sebagai hamil karena “kecelakaan”. Karena ditutup-tutupi oleh remaja yang hamil, masyarakat sekitar bahkan orang tua dan keluarga tidak tahu bahkan sering baru tahu setelah kehamilan berusia tua atau bahkan setelah lahir. Akibatnya kehamilan tidak terawat dengan baik, asupan gizi ibu tidak memadai, dan kehamilan tidak diperiksakan. Kondisi ini sangat beresiko menghasilkan anak stunting.
Hal tersebut disampaikan Ketua DPRD Kabupaten Gunungkidul Endah Subekti Kuntariningsih, SE., pada Kegiatan Sosialisasi dan KIE Program Bangga Kencana dan Percepatan Penurunan Stunting yang digelar di Kawasan Wisata Waterbyur Ponjong, Gunungkidul pada Minggu (4/02/2024). Sosialisasi menghadirkan 400 orang dari Kalurahan Ponjong dan sekitarnya, juga dari Kapanewon tetangga. Mereka terdiri dari para kader dan warga dari kelompok-kelompok kegiatan yang dibina BKKBN, tokoh masyarakat, dan generasi muda.
“Biasanya si anak menyembunyikan kehamilannya bahkan sampai 5 bulan atau lebih. Sehingga selama masa tersebut, tumbuh kembang janin tidak diperhatikan. Secara mental saja belum siap jadi ibu, apalagi merawat bayi?” ungkap Endah. Kehamilan pada remaja yang masih dalam masa pertumbuhan dan membutuhkan asupan gizi yang tinggi menyebabkan janin yang dikandung harus berebut nutrisi dengan sang ibu remaja. Janin berisiko stunting, kesehatan dan pertumbuhan ibu juga terganggu.
Ditambahkan Endah, selama anak belum dewasa maka masih di bawah tanggung jawab orang tua. Maka suasana terbuka antara orang tua dan anak, sehingga mereka bisa dengan nyaman bercerita tentang hidupnya. Orangtua bertanggungjawab memberi contoh pada anaknya mengenai etika, tatakrama, dan menjaga norma masyarakat.
Plt. Direktur Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) Dr. Dadi Ahmad Roswandi, S.Si., M.Si yang juga menjadi narasumber dalam acara tersebut menyebutkan bahwa stunting adalah gagal tumbuh kembang akibat kurang gizi kronis menahun.
Namun, tidak hanya perihal gizi, sanitasi yang tidak bagus juga merupakan penyebab stunting, “ibu memasak tidak mencuci tangan lalu dimakan anaknya, lalu menyebabkan diare, jika berulang lama kelamaan anaknya bisa stunting,” kata Dadi.
“Ciri-ciri anak stunting pasti pendek, kurang pintar, dan gampang sakit-sakitan. Perlu diwaspadai apabila melihat gejala ini pada anak, selain itu orangtua juga wajib menerapkan pola asuh yang baik. Seperti mengoptimalkan ASI eksklusif sampai anak umur 2 tahun,” ungkap. Dikatakannya stunting pada anak bisa dicegah dengan mencukupi asupan protein hewani, seperti telur dan ikan, “prioritaskan kesehatannya, jangan kebanyakan makan mengandung pengawet. Jangan biasakan air minum manis yang dapat menyebabkan diabetes,” tukasnya.
Kepala Perwakilan BKKBN DIY yang diwakili oleh Yuni Hastutiningsih, SKM., M.Si selaku Ketua Pokja Pemberdayaan Keluarga menyebut bahwa stunting apabila sudah terlanjur terjadi maka tidak bisa diperbaiki.
“Ubun-ubun pada bayi menutup pada usia 24 bulan, selama belum menutup maka risiko stunting masih bisa diperbaiki. Efek dari stunting permanen sampai usia dewasa. Mencegah stunting bukan hanya tanggungjawab ibu, namun peran ayah tidak kalah penting dalam pengasuhan,” jelas Yuni.
Peran ayah penting dalam keluarga, “Kalau mau ibu sayang kepada anaknya, maka ayah harus membahagiakan istrinya. Secara psikologi hal ini saling terkait, sehingga ibu yang bahagia dapat merawat anaknya dengan optimal,” tukasnya.
Penulis: FX Danarto SY dan Ahmad Affandi