Penulis:
– Rahmat Saleh, Peneliti Ahli Muda – Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional
– Ari Purwanto Sarwo Prasojo, Peneliti Ahli Muda – Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional
Pada tanggal 28 Oktober 1928, sekelompok pemuda dari berbagai latar belakang–suku, agama, golongan berkumpul untuk mendeklarasikan ikrar monumental: Sumpah Pemuda. Ikrar ini bukan sekadar janji, melainkan cetak biru persatuan yang mendahului kemerdekaan. Mereka secara kolektif menyatakan bertanah air satu, berbangsa satu, dan menjunjung bahasa persatuan: Indonesia. Singkatnya, Sumpah Pemuda dapat dilihat sebagai pernyataan politik-kebangsaan kaum muda sekaligus momentum yang menyatukan keragaman dalam satu visi. Sejak saat itu, setiap 28 Oktober diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda.
Kini, di usianya yang menjelang satu abad, nilai-nilai inti dalam Sumpah Pemuda (persatuan, kebangsaan, dan kebhinekaan) kembali dipertanyakan relevansinya di tengah gempuran digitalisasi dan konteks kehidupan Generasi Z di Indonesia. Dalam satu dekade terakhir, Generasi Z (Gen Z), yakni mereka yang lahir pada 1997–2012, telah menjadi salah satu fokus penting dalam studi kependudukan. Generasi ini tumbuh di era digital, dengan teknologi informasi komunikasi (TIK) yang telah menjadi bagian integral dalam kehidupan sehari-hari mereka. Karena itu, Gen Z sering dianggap sebagai “digital natives” yang akrab dengan internet, gawai, media sosial, serta arus informasi yang deras, cepat, dan tanpa batas. Bersamaan dengan itu, pesatnya perkembangan teknologi digital memicu perubahan besar yang menggeser “era lama” ke “era baru”. Perubahan ini memengaruhi hampir semua aspek kehidupan seperti komunikasi, pekerjaan, hubungan sosial, ekonomi, budaya, dan politik yang dikenal sebagai “era disrupsi”.

Gambar 1. Grafik intisari artikel.
Dibuat dengan NotebookLM dengan input konten dan kurasi oleh penulis.
Melalui artikel singkat ini, penulis berargumen bahwa nilai-nilai inti Sumpah Pemuda tetap relevan hingga hari ini, meskipun bentuk, ekspresi, dan konteksnya telah berubah. Jika para pemuda 1928 berjuang secara fisik melawan kolonialisme, maka di era disrupsi saat ini Gen Z menghadapi “medan perang” yang berbeda: tantangan-tantangan kontemporer yang menuntut kecakapan baru.
Selayang Pandang Gen Z
Secara demografis, Sensus Penduduk 2020 mencatat Gen Z sebagai kelompok terbesar, yaitu sekitar 74,93 juta jiwa atau 27,94% dari total penduduk Indonesia (BPS, 2024). Beberapa studi mengungkapkan karakteristik umum Gen Z misalnya mereka adalah generasi yang paling diverse, terdidik, dan terkoneksi secara digital (Bialik & Fry, 2019). Mereka mahir menggunakan berbagai platform media sosial, tidak hanya sebagai sarana hiburan tetapi juga sebagai sumber informasi dan wadah ekspresi (Pujiono, 2021).
Data digital terbaru tahun 2025 (Gambar 2) menunjukkan bahwa kelompok usia 18–24 dan 25–34 tahun merupakan pengguna terbesar di ekosistem Meta (Facebook, Instagram, dan Messenger) di Indonesia. Gen Z, terutama mereka yang berusia 18–24 tahun, menyumbang sekitar 24,4% dari total jangkauan iklan digital Meta, dan jika digabung dengan kelompok usia 25–34 tahun, kontribusinya mencapai lebih dari 63% pengguna dewasa. Ini menguatkan bahwa ruang digital memang menjadi arena utama kehidupan Gen Z, baik untuk hiburan, interaksi sosial, maupun pembentukan identitas.

Gambar 2. Profil demografis audiens Meta (Facebook, Instagram, Messenger).
Sumber: Meta Advertising Audience (usia 18+, Indonesia), diambil dari Digital 2025 Indonesia Report, DataReportal, We Are Social & Meltwater (2025). Visualisasi dibuat ulang oleh penulis.
Dalam konteks Indonesia, Gen Z sebagai kelompok demografis terbesar dan karakteristiknya juga membawa tantangan terhadap konsep “nasionalisme masa kini”. Setidaknya terdapat tiga tantangan tersebut. Pertama, Gen Z terhubung dengan teman sebaya dari berbagai belahan dunia melalui platform media sosial seperti TikTok, Instagram, dan X. Hal ini membentuk cara pandang, interaksi, dan identitas mereka yang tidak hanya lokal atau nasional, tetapi juga global. Akses informasi yang tidak terbatas membuat Gen Z mudah terpapar isu-isu internasional sehingga memperoleh wawasan global yang luas, menjadikan mereka lebih terbuka terhadap isu-isu universal seperti isu LGBTQ+ dan kesetaraan gender (Parker & Igielnik, 2020). Perspektif global ini berpotensi mengikis kesadaran akan pentingnya mempertahankan jati diri bangsa (Abrar, 2020; Kurniawaty, 2024). Bahkan akhir-akhir ini, sebagian Gen Z berpandangan bahwa nasionalisme sebagai konsep yang usang dan kurang relevan dibandingkan isu-isu universal-global.
Kedua, dalam situasi ekonomi yang serba tidak pasti, yakni biaya hidup meningkat, peluang kerja yang tidak merata, dan kompetisi yang semakin ketat, Gen Z kerap dicap sebagai generasi yang pragmatis oleh sebagian besar masyarakat. Hal ini bukan tanpa alasan. Mereka tumbuh dalam lingkungan yang menuntut kehati-hatian, sehingga terbiasa mempertanyakan narasi besar dan lebih percaya pada data serta hasil yang terukur (Seemiller & Grace, 2019). Karena itu, Gen Z tidak menerima begitu saja narasi “cinta tanah air” tanpa melihat bukti nyata, misalnya dalam bentuk pemerataan ekonomi dan peluang yang dirasakan langsung dalam kehidupan mereka.
Ketiga, paparan media sosial yang tanpa henti, dengan budaya “highlight reel” atau tampilan hidup serba sempurna, juga berpotensi meningkatkan kerentanan terhadap masalah kesehatan mental di kalangan Gen Z, mulai dari kecemasan hingga depresi. Media sosial memang dapat menjadi ruang untuk terhubung dan membangun solidaritas, tetapi juga dapat memicu terjadinya perundungan siber (cyberbullying) dan polarisasi. Pola interaksi Gen Z yang cenderung berkumpul dalam kelompok dengan pandangan serupa dapat mempersempit ruang dialog, dan pada titik tertentu dapat mengancam nilai persatuan, kebangsaan, dan kebhinekaan.
Relevansi Sumpah Pemuda bagi Nasionalisme Gen Z
Nilai-nilai inti Sumpah Pemuda, yakni persatuan, kebangsaan, dan kebhinekaan, tetap relevan menjadi “kompas moral” guna menumbuhkembangkan “nasionalisme dalam arti luas” bagi Gen Z. Relevansinya dapat dilihat melalui interpretasi ulang nilai-nilai inti sumpah tersebut dalam konteks kekinian agar sesuai dengan realitas kehidupan Gen Z.
1. Satu Tanah Air: Geopolitik dan Kedaulatan Ekologi Digital
Bagi Gen Z, “Tanah Air Indonesia” kini tidak lagi terbatas pada batas-batas geografis, tetapi juga mencakup ruang digital tempat mereka hidup, bekerja, dan berinteraksi. Dalam konteks ini, Gen Z dapat menjadi garda terdepan dalam menjaga kedaulatan digital Indonesia. Melawan invasi berita bohong (hoaks), memerangi konten negatif dan ujaran kebencian, serta memproduksi konten yang informatif dan positif merupakan bentuk baru dari ekspresi “cinta tanah air” di era digital. Karena itu, literasi digital menjadi modal utama untuk memperkuat pertahanan dan kedaulatan nasional di ruang digital.
Selain itu, “Tanah Air Indonesia” bagi Gen Z juga mencakup komitmen terhadap kelestarian lingkungan dan kedaulatan ekologi Indonesia. Gen Z dikenal sebagai generasi yang vokal terhadap isu perubahan iklim dan kerusakan alam (Tyson dkk., 2021). Dengan demikian, nasionalisme ala Gen Z dapat terwujud melalui kampanye digital untuk melawan deforestasi dan perusakan lingkungan serta menerapkan aksi nyata daur ulang 5R (reduce, reuse, recycle, recover, & repair) dalam kehidupan sehari-hari.
2. Satu Bangsa: Melawan Polarisasi dan Menguatkan Inklusivitas
Sebagai “digital natives”, banyak dari Gen Z hidup di tengah pusaran polarisasi dan permusuhan di ruang online. Algoritma platform digital kerap menciptakan ruang gema (echo chamber), di mana pengguna hanya terpapar pandangan yang sama (Sunstein, 2017). Bersumpah untuk “Satu Bangsa” hari ini berarti Gen Z menegaskan kembali semangat persatuan dalam keberagaman suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Semangat itu dapat diwujudkan lewat praktik nyata: misalnya menggunakan platform digital seperti TikTok, Instagram, atau Youtube untuk menampilkan kolaborasi antargolongan, mempromosikan dialog yang sehat tentang kebhinekaan Indonesia. Selain itu, Gen Z memiliki daya yang besar dalam memobilisasi opini publik, misalnya melalui tagar, kampanye sosial, petisi online, crowdfunding, bahkan aksi solidaritas di dunia nyata untuk mendukung keadilan sosial dan hak-hak kelompok rentan.
Namun demikian, kekuatan itu juga datang bersama tanggung jawab besar, karena media sosial dapat dengan cepat menyebarkan informasi baik yang benar maupun yang palsu. Karena itu, Gen Z harus bertindak secara bijak: memverifikasi isu atau informasi sebelum membagikannya, dan menahan diri dari penyebaran konten yang bersifat memecah belah. Inilah wujud kontribusi kebangsaan ala Gen Z: menggunakan teknologi digital untuk melawan polarisasi, memerangi akun-akun provokatif, serta mempromosikan toleransi dan inklusivitas. Dengan demikian, nasionalisme Gen Z bukan sekadar simbol atau formalitas, melainkan sebuah komitmen substansial terhadap keberagaman, kesetaraan, dan keadilan sosial.
3. Bahasa Persatuan: Bahasa Indonesia dan Kreativitas
Di era digital saat ini, ikrar “menjunjung bahasa persatuan: Bahasa Indonesia” tidak lagi sekadar bermakna menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, tetapi juga memahami bagaimana bahasa persatuan ini menghadapi tantangan baru. Di satu sisi, Bahasa Indonesia bersaing dengan bahasa asing (terutama Bahasa Inggris). Di sisi lain, alih-alih menolak bahasa asing, Gen Z menunjukkan nasionalisme linguistik melalui cara yang unik. Mereka mengintegrasikan unsur bahasa asing dalam percakapan sehari-hari, namun tetap menjadikan Bahasa Indonesia sebagai dasar ekspresi dan identitas.
Gen Z juga menciptakan bahasa gaul, slang, dan meme yang berkembang sangat cepat. Bahasa kekinian tersebut, bila dimanfaatkan dengan tepat, dapat menjadi alat yang efektif untuk menyebarkan pesan-pesan positif. Misalnya, penggunaan bahasa ini dikemas secara kreatif, fleksibel, dan terdigitalisasi dalam konten-konten populer (TikTok, podcast, vlog) untuk mempromosikan budaya, tradisi, produk lokal ke audiens nasional maupun global. Dengan kata lain, Gen Z berperan penting dalam menghubungkan identitas lokal dan nasional dengan panggung internasional melalui Bahasa Indonesia yang adaptif dan relevan.
Lebih dari itu, bahasa juga memiliki peran etis dan sosial. Gen Z perlu menggunakan bahasa persatuan secara inklusif, yakni tanpa ujaran kebencian, dan mampu menjadi alat untuk memperkuat persatuan. Dalam konteks ini, Gen Z bisa menjadi “penerjemah” antargenerasi dan antarkelompok, yakni menghadirkan cara komunikasi yang mudah dipahami dan tetap merangkul keberagaman.
Kesimpulan
Gen Z adalah pewaris sah semangat Sumpah Pemuda, meskipun mewujudkannya dalam bentuk berbeda dari generasi sebelumnya. Bagi mereka, semangat itu tetap hidup, hanya saja kini mengalir melalui ruang digital, di server, algoritma, dan jejaring media sosial. Nilai cinta tanah air hadir lewat upaya menjaga lingkungan dan kedaulatan siber; nilai kebangsaan menjadi landasan untuk melawan polarisasi digital; sementara nilai bahasa menjadi sarana untuk memperkuat identitas nasional di tengah kreativitas global.
Untuk memberdayakan Gen Z mewujudkan “Sumpah Pemuda versi kontemporer”, setidaknya diperlukan tiga hal strategis. Pertama, pendidikan perlu adaptif, mengintegrasikan literasi digital, berpikir kritis, dan wawasan kebangsaan yang relevan dengan hari ini. Pemerintah juga perlu membuka ruang partisipasi kebijakan yang bermakna bagi Gen Z. Kedua, keluarga dan masyarakat harus hadir sebagai pendengar yang empatik, tidak meremehkan kegelisahan mereka, sekaligus mendukung cara mereka mengekspresikan nasionalisme secara otentik. Ketiga, Gen Z sendiri perlu terus mengasah kemampuan kritis, menjaga kesehatan mental dan fisik, serta memperkuat jejaring dengan sesama pemuda untuk mengoptimalkan “kekuatan digital” mereka sebagai kekuatan kolektif. Dengan demikian, semangat Sumpah Pemuda dalam genggaman generasi digital bukan hanya simbol, melainkan kekuatan utama yang dapat mendorong Indonesia menuju visi Indonesia Emas 2045.
Referensi
Abrar, A. N. (2020). Tinjauan Konstruksi Sosial atas Nasionalisme Net Generation. Jurnal Ilmu Komunikasi, 17(1).
Bialik, K., & Fry, R. (2019). Early Benchmarks Show ‘Post-Millennials’ on Track to Be Most Diverse, Best-Educated Generation Yet. Pew Research Center. https://www.pewresearch.org/social-trends/2019/02/14/early-benchmarks-show-post-millennials-on-track-to-be-most-diverse-best-educated-generation-yet/
BPS. (2024). Statistik Demografi Indonesia 2020: Hasil Sensus Penduduk 2020. Badan Pusat Statistik.
Kurniawaty, R. (2024). Nasionalisme di Era Digital: Tantangan dan Peluang bagi Generasi Z Indonesia. Jagaddhita: Jurnal Kebhinekaan dan Wawasan Kebangsaan.
Parker, K., & Igielnik, R. (2020). On the Cusp of Adulthood and Facing an Uncertain Future: What We Know About Gen Z So Far. Pew Research Center. https://www.pewresearch.org/social-trends/2020/05/14/on-the-cusp-of-adulthood-and-facing-an-uncertain-future-what-we-know-about-gen-z-so-far-2/
Pujiono, A. (2021). Media Sosial Sebagai Media Pembelajaran Bagi Generasi Z. Didache: Journal of Christian Education, 2(1), 1–19.
Riyanto, A. D. (2025, February 28). Hootsuite (We are Social): Data Digital Indonesia 2025. Dosen, Praktisi, Konsultan, Pembicara/Fasilitator Digital Marketing, Internet marketing, SEO, Technopreneur dan Bisnis Digital. https://andi.link/hootsuite-we-are-social-data-digital-indonesia-2025/
Seemiller, C., & Grace, M. (2019). Generation Z: A Century in the Making. Routledge.
Sunstein, C. R. (2017). #Republic: Divided Democracy in the Age of Social Media. Princeton University Press.
Tyson, A., Kennedy, B., Funk, C., & Research, S. (2021). Gen Z, millennials stand out for climate change activism, […] Pew Research Center.