KULON PROGO, BKKBN — Dari seratusan kaum muda peserta Pendampingan Calon Pengantin Dan Pasangan Baru Menikah sebagai upaya pencegahan stunting yang diminta mengisi mini survei (online) berkaitan dengan materi pendampingan, sebanyak 73 orang mengisi tautan yang disediakan. Hasilnya menunjukkan sejumlah fenomena menarik.
Sebanyak 15,3% responden menjawab ingin punya anak tiga dan tidak ada yang ingin lebih dari tiga. Mayoritas atau 80,6% ingin punya anak dua. Sedangkan yang ingin punya anak hanya satu saja ada 2,8%. Ada juga yang menjawab tidak ingin punya anak sama sekali walau persentasenya paling kecil yaitu 1,4%.
Fenomena sebagian kaum muda berkeinginan punya anak lebih dari dua bisa saja disikapi sebagai sesuatu yang “menggembirakan” di tengah kekhawatiran terus menurunnya angka kelahiran di tiga wilayah (DKI, Bali, dan DI Yogyakarta), di mana rata-rata wanita usia produktifnya memiliki anak kurang dari dua, yang dalam istilah kependudukan disebut sebagai TFR atau Total Fertility Rate.
Daerah Istimewa Yogyakarta diketahui memiliki TFR 1,81. Artinya, rata-rata wanita usia subur di DIY memiliki anak kurang dari dua.
Mengingat TFR nasional yang makin turun dan sudah pada angka 2.14 (sementara yang dianggap ideal bagi Penduduk Tumbuh Seimbang/PTS adalah TFR 2,1) maka kecenderungan sebagian kaum muda tersebut perlu disikapi dengan bijaksana. Angka TFR 2,1 yang dicita-citakan sendiri sesungguhnya mengandung pengertian bahwa sebagian wanita usia subur “seyogyanya” memiliki anak lebih dari dua.
Para responden tersebut adalah sebagian peserta yang mengikuti acara pendampingan yang difasilitasi oleh Direktorat Lini Lapangan BKKBN di Wisma Kusuma Hotel, Wates, Kabupaten Kulon Progo, Rabu (10/07/24). Tampil sebagai pemberi materi Marzuki, S.HI, MSi, Kepala KUA Wates dan dr. Susilo, Kepala Puskesmas Wates.
Penyampaian materi pada acara tersebut semakin menegaskan bahwa kunci keberhasilan menurunkan angka stunting adalah melalui pencegahan dari hulu. Artinya, mencegah sejak awal, dengan sasaran para remaja sebelum mereka menikah dan kemudian hamil serta menjadi ibu yang mengasuh anaknya.
Dengan demikian, untuk menurunkan angka stunting, remaja perlu dipersiapkan agar nantinya dapat membentuk keluarga yang matang, memiliki kesiapan mental, memiliki pengetahuan pengasuhan anak, serta tidak kalah pentingnya kemampuan ekonomi yang memadai.
● Rumah Tiga Fondasi
Kepala KUA Wates Marzuki mengibaratkan pernikahan bagaikan rumah dengan tiga fondasi pokok yaitu keadilan, keseimbangan dan kesalingan (timbal balik). Dalam pernikahan antara pria dan wanita mereka berjanji tidak kepada manusia tetapi berjanji kepada Tuhan YME.
Sehingga sebagai suami dan istri wajib memegang teguh janji tersebut.
Ditambahkan, para calon pengantin (catin) perlu mengisi Elsimil, supaya merekanterdata apakah sudah siap hamil atau belum sesuai kondisi kesehatannya.
Elsimil merupakan singkatan dari aplikasi Elektronik Siap Nikah dan Hamil yang dibuat oleh BKKBN, di mana calon pengantin sebagai pengunduhnya memasukkan data-data kesehatan tertentu untuk diolah. Hasilnya, apakah yang bersangkutan dalam kondisi ideal untuk hamil atau tidak.
KUA sebagai garda terakhir mengantarkan pasangan menuju perkawinan membantu BKKBN dengan menganjurkan calon pengantin untuk mengunduh dan mengisi Elsimil tiga bulan sebelum memdaftarkan perkawinan. Bila ditemui kondisi belum ideal untuk hamil, bisa dilakukan upaya perbaikan kondisi kesehatan atau menunda dulu kehamilan.
Terkait Elsimil, kuesioner yang disampaikan juga mengungkapkan bahwa 57,7% responden telah mengisi secara lengkap dan mendapatkan sertifikat kondisi ideal untuk hamil. Yang belum mengisi atau belum mengisi secara lengkap sebanyak 11,3% dan 31%.
Oleh karenanya menjadi relevan anjuran Marzuki agar calon pengantin memanfaatkan ElsimilL. Sebanyak 91,4% responden merasa ElsimilL mudah dipahami cara mengisinya dan hanya 8,6% yang mengaku cukup sulit mengisinya.
Bagian lain dari mini survei yang berkaitan dengan peran Tim Pendamping Keluarga (TPK) mengungkap sebagian besar memberikan penilaian positif, 25% merasakan TPK sangat berperan membantu mereka merencanakan perkawinan dan merencanakan punya anak serta 44,4% menilai cukup berperan. Sisanya sebesar 30,6% belum begitu merasakan peran TPK.
Dokter Susilo, Kepala Puskesmas Wates, yang memberikan materi terakhir menekankan bahwa stunting bukan hanya sekedar urusan pendek tubuh, tetapi lebih pada kondisi otak. Otak manusia hanya bertumbuh selama lima tahun pertama saja (dengan pertumbuhan pesat sampai usia dua tahun). Setelah itu otak tidak berkembang lagi.
Menurutnya, jika penanganan yang diatasi hanya yang berisiko stunting saja, maka hal itu percuma dilakukan. Sebab penyumbang stunting yaitu calon pengantin dan pasangan usia subur harus juga ditangani.
Sebelumnya, kegiatan diawali dengan pengukuran dan pemeriksaan kesehatan tertentu dari peserta yang hasilnya langsung diinput ke dalam aplikasi Elsimil.
Penulis: FX Danarto SY
Editor : Santjojo Rahardjo