Disparitas Antar Wilayah Tinggi, Kebijakan Kependudukan Jangan Satu Versi

YOGYAKARTA — Daerah Istimewa Yogyakarta yang angka kelahirannya sudah turun hingga 1,8 (rata-rata wanita melahirkan kurang dari dua anak) tentu tidak bisa menerapkan kebijakan menurunkan angka kelahiran yang sama gencarnya seperti Provinsi NTT yang angka kelahirannya masih tertinggi di Indonesia sebesar 2,71. Angka kelahiran ideal adalah 2,1 untuk mencapai penduduk tumbuh seimbang, dan saat ini secara nasional sudah berhasil turun hingga 2,11 atau hampir mencapai angka ideal.

Namun kondisi tersebut tidak serta merta berarti bahwa DIY sudah memerlukan kebijakan mempromosikan peningkatan angka kelahiran dengan mendorong keluarga-keluarga memiliki anak lebih dari dua, terutama untuk Kota Yogyakarta yang angka kelahirannya sudah turun hingga 1,6.

Hal tersebut menjadi salah satu topik diskusi yang mengemuka dalam rapat kerja Penyusunan Peta Jalan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga 2025-2029 dalam Grand Design Pembangunan Kependudukan (GDPK) di DIY bertempat di ruang Widya 1, Kantor Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/BKKBN (Kemendukbangga) Perwakilan DIY, Kamis (15/05/2025).

Sebagai narasumber utama, Direktur Perencanaan Pengendalian Penduduk Kemendukbangga/ BKKBN Lina Widyastuti yang hadir dan menyampaikan materi secara daring disambung oleh Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Riset dan Inovasi Daerah (Bapperida) DIY Ni Made Dwipayanti. Para peserta rapat kerja terdiri dari Dinas pengampu kependudukan, Bapperida, dan Tim Koordinasi Pelaksanaan GDPK DIY dari berbagai instansi terkait.

Grand Design Pembangunan Kependudukan (GDPK) merupakan dokumen strategis yang memuat rumusan perencanaan pembangunan kependudukan jangka panjang (25 tahun). Isinya mencakup kecenderungan parameter pembangunan kependudukan, isu penting pembangunan kependudukan, dan program pembangunan kependudukan. Mengingat pentingnya dokumen perencanaan tersebut maka pemerintah pusat dan daerah wajib menyusun GDPK sesuai amanat Peraturan Presiden Nomor 153 Tahun 2014.

Untuk dapat mengimplementasikan GDPK ke dalam perencanaan pembangunan di daerah, maka perlu disusun Peta Jalan Pembangunan Kependudukan. Peta Jalan Pembangunan Kependudukan ini disusun setiap 5 tahun sekali sebagai living document dengan di dalamnya termasuk rencana aksi pembangunan kependudukan. Karena disparitas atau perbedaan kondisi demografi antar wilayah sangat tinggi, maka tiap provinsi harus menyusun Peta Jalan dan Rencana Aksi GDPK sesuai parameter kependudukan wilayahnya. Disparitas juga terjadi antar Kabupaten/Kota dalam provinsi yang sama, oleh karenanya Rencana Aksi GDPK juga harus disusun sesuai kondisi demografi oleh masing-masing Kabupaten/Kota.

Dalam diskusi yang dipandu Penata Kependudukan dan KB Ahli Madya Niken Wijayanti, Direktur Perencanaan Pengendalian Penduduk Lina Widyastuti mengharapkan agar tidak ada lagi provinsi dengan angka kelahiran di atas tiga dan untuk provinsi dengan angka kelahiran di atas 2,1 untuk terus mengupayakan penurunan.

“Sedangkan bagi provinsi dengan angka kelahiran kurang dari 2,1 seperti DIY yang sudah 1,8 kami harapkan untuk fokus pada pembangunan kependudukan dengan arah peningkatan kualitas penduduk,” tegas Lina kepada para peserta rapat kerja yang merupakan perumus kebijakan bidang kependudukan dan pembangunan keluarga ini.
“Jangan sampai angka kelahiran sudah 1,8 tetapi kebijakannya masih sama dengan wilayah lain, masih fokus menurunkan angka kelahiran” tambah Lina.

Sejalan dengan penyajian Direktur Perencanaan Pengendalian Penduduk, Kepala Bapperida DIY menyampaikan bahwa Kelompok usia produktif (15-64 tahun) mendominasi struktur penduduk DIY. Banyaknya penduduk usia 20-24 dan 25-29 tahun menunjukkan bahwa banyak generasi muda siap memasuki dunia kerja.
Piramida mulai menyempit di penduduk usia senior, namun kembali melebar di usia 75 tahun ke atas. Oleh karena itu, kesejahteraan lansia menjadi hal yang perlu mendapatkan perhatian.

Ni Made Dwipayanti mengungkapkan dua tantangan yang dihadapi DIY. Yang pertama adalah Dependency Ratio berdasarkan data proyeksi penduduk diperkirakan akan merambat naik daru 46,8 pada tahun 2025 hingga menyentuh angka 48,4 di tahun 2035 atau lebih tinggi dari rata-rata nasional.

Selain itu ketimpangan kesejahteraan penduduk DIY juga masih tinggi. Dilihat dari Gini Ratio DIY pada September 2024 yang mencapai angka 0,428 dan Indeks Williamson 2024 yang ada pada angka 0,459. Maka solusi yang telah diupayakan adalah pemberdayaan kelompok usia non produktif dan Lansia, peningkatan kesehatan remaja putri, calon pengantin, bayi dan balita sebagai upaya pencegahan stunting, serta peningkatan kesejahteraan kawasan selatan DIY.

Kepala Kemendukbangga/BKKBN Perwakilan DIY Mohamad Iqbal Apriansyah dalam keterangannya menegaskan bahwa dokumen GDPK berikut Peta Jalan (Road Map) yang sedang disusun ini penting bukan hanya bagi sektor pemerintah dalam menyusun maupun melaksanakan kebijakan, tetapi juga penting bagi sektor swasta.

“Para pelaku bisnis perlu memahami kondisi demografi suatu wilayah agar dapat menentukan kebijakan produksi dan pemasaran yang tepat” ungkap Iqbal. Pihaknya yakin diskusi ini akan makin meningkatkan kualitas perencanaan dan penerapan kebijakan kependudukan dan pembangunan keluarga di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Ketua Tim Kerja Pengendalian Penduduk, Ita Suryani menambahkan bahwa untuk mengimplementasian GDPK yang ada di DIY saat ini sudah dimasukkan untuk indikator Ibangga di dokumen RPJMD yang ada seperti di Kota Yogyakarta. Harapannya enam indikator dari Kemendukbangga masuk ke dalam dokumen perencanaan daerah.(*)


Penulis : FX Danarto SY

Post Terkait