Penulis:
- Yulinda Nurul Aini, Pusat Riset Kependudukan BRIN
- Ayu Sajida Da’ad Arini, Kementerian Kependudukan dan Pembanggunan Keluarga
Peran Kontrasepsi dan Pilihan Metode yang Tersedia
Di tengah tantangan pertumbuhan penduduk Indonesia yang terus meningkat, pengendalian angka kelahiran tetap menjadi agenda penting dalam pembangunan nasional. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia mencapai lebih dari 278 juta jiwa pada tahun 2023 dan diprediksi akan terus bertambah. Untuk mengatasi lonjakan populasi dan dampaknya terhadap ketahanan pangan, pendidikan, dan kesehatan, program Keluarga Berencana (KB) masih menjadi salah satu strategi utama pemerintah.
Program KB telah menunjukkan keberhasilan signifikan dalam menurunkan Total Fertility Rate (TFR) dari 5,6 anak per perempuan pada 1970-an menjadi sekitar 2,18 pada 2020 (berdasarkan Longform SP2020). Namun, keberhasilan ini belum merata di semua wilayah Indonesia. Di sejumlah provinsi, terutama di wilayah timur Indonesia, angka kelahiran masih tergolong tinggi, dan kesenjangan akses terhadap layanan KB masih menjadi masalah serius.
Dalam perjalanannya, kontrasepsi berkembang tidak hanya sebagai metode pengaturan kelahiran saja, yang mana sekarang telah menjadi bagian dari pemenuhan hak asasi manusia. Titik balik penting ini terjadi sekitar tiga dekade lalu melalui Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) di Kairo, yang menegaskan pentingnya hak reproduksi, kesehatan seksual, keterlibatan pria, dan keadilan gender. Namun demikian, sampai hari ini nampaknya keterlibatan pria dalam pemilihan kontrasepsi belum cukup andil karena sebagian besar dibebankan pada wanita.
Salah satu tantangan besar dalam implementasi program KB adalah rendahnya partisipasi pria dalam penggunaan kontrasepsi. Data BKKBN menunjukkan bahwa hanya sekitar 2,5% pasangan usia subur menggunakan metode kontrasepsi pria, dan dari angka tersebut, hanya 0,2% yang menggunakan vasektomi. Sebaliknya, mayoritas penggunaan kontrasepsi masih dibebankan pada perempuan, mulai dari pil KB, suntik, hingga IUD, yang semuanya memiliki potensi efek samping medis jangka panjang.
Apa Itu Vasektomi?
Menurut Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/ BKKBN, vasektomi atau yang biasa dikenal dengan Metode Operasi Pria (MOP) merupakan metode kontrasepsi mantap/ permanen berupa tindakan pengikatan atau pemutusan saluran sperma (Vas Deferens) sehingga cairan mani yang keluar tidak lagi mengandung sperma. Vas deferens atau saluran sperma merupakan saluran yang menyalurkan sperma dari epididimis menuju uretra saat terjadi ejakulasi. Secara medis, prosedur vasektomi dapat dilakukan dalam kurun waktu yang cukup singkat, biasanya sekitar 15-20 menit dengan menggunakan anastesi dan perlukaan yang cukup kecil. Masa pemulihan pasca tindakan juga cepat. Vasektomi menjadi salah satu opsi metode kontrasepsi yang dapat dipilih oleh kaum laki-laki selain kondom. Pemerintah, melalui Kemendukbangga/ BKKBN, menyediakan layanan vasektomi secara gratis. Bila dilakukan secara mandiri di luar program pemerintah, biaya tindakan ini bisa cukup mahal, bahkan bisa mencapai belasan juta rupiah.
Keunggulan Vasektomi dari sisi Medis, Sosial, dan Ekonomi
Dari sisi medis, vasektomi merupakan salah satu metode kontrasepsi paling efektif. Menurut World Health Organization (WHO), tingkat efektivitas vasektomi mencapai lebih dari 99%, jauh lebih tinggi dibandingkan metode kontrasepsi lainnya. Vasektomi juga tidak menyebabkan perubahan hormonal atau gangguan kesehatan jangka panjang yang sering kali dikeluhkan oleh pengguna kontrasepsi perempuan. Efek samping vasektomi umumnya ringan, seperti nyeri ringan atau pembengkakan sementara. Risiko komplikasi serius sangat rendah, dan sebagian besar pria dapat kembali bekerja dan beraktivitas normal dalam beberapa hari.
Secara sosial, vasektomi mencerminkan tanggung jawab bersama dalam pengelolaan kesehatan reproduksi. Di banyak keluarga, beban kontrasepsi selama ini cenderung dilimpahkan pada perempuan. Dengan memilih vasektomi, pria mengambil peran aktif dalam perencanaan keluarga dan mendukung pasangan mereka yang mungkin telah lama menanggung efek samping dari metode KB hormonal atau mekanis.
Dari aspek ekonomi, vasektomi lebih efisien dalam jangka panjang. Dibandingkan dengan biaya pembelian kontrasepsi berkala (pil, suntik, atau kondom), vasektomi hanya membutuhkan satu kali tindakan dengan biaya yang relatif rendah. Beberapa program pemerintah bahkan menyediakan vasektomi gratis melalui fasilitas kesehatan.
Tantangan dan Kontra Vasektomi: Aspek Sosial dan Psikologis
Beragam manfaat dan tingkat efektivitas vasektomi sebenarnya sudah banyak terbukti, namun mitos yang keliru dan hambatan sosial budaya masih membuat sebagian masyarakat ragu untuk mengakses layanan ini. Dari sisi kesehatan, tantangan terbesar yang menghambat pelayanan vasektomi itu justru minimnya tenaga ahli terlatih dan belum semua fasilitas kesehatan dapat menangani prosedur vasektomi, termasuk tindakan rekanalisasi. Masalah yang timbul saat prosedur berlangsung misalkan sulitnya menemukan saluran vas deferens. Terkait efek samping, Awsare (2005) menyampaikan bahwa komplikasi kesehatan yang terjadi pasca prosedur ini hanya berkisar 0-2% saja. Selain itu, jelas bahwa tindakan ini memerlukan biaya yang tidak sedikit yang belum tentu semua masyarakat dapat mengaksesnya.
Dari aspek sosial, tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi sosial kemasyarakatan kita masih menganggap sebelah mata prosedur ini. Baru-baru ini, seorang selebgram di Instagram membagikan pengalamannya mengikuti layanan vasektomi melalui program BKKBN Provinsi Jawa Timur. Unggahan tersebut menarik perhatian luas dan memicu perbincangan di berbagai platform, termasuk aplikasi X, hingga menjadikan tagar #vasektomi sempat menjadi trending topic. Fenomena ini memunculkan beragam respons dari warganet, sekaligus mengungkap bahwa masih banyak mitos dan miskonsepsi tentang vasektomi yang beredar di tingkat akar rumput (grassroots). Mitos yang kerap ditemui tentang vasektomi adalah anggapan bahwa prosedur ini sama dengan kebiri atau dapat menghilangkan kejantanan pria. Faktanya, vasektomi hanya mengikat atau memotong vas deferens, tanpa menyentuh testis, serta tidak memengaruhi produksi hormon, libido, maupun fungsi seksual. Dilansir dari vasectomy.ie, setelah vasektomi sperma akan tetap diproduksi oleh testis, namun karena tidak dapat keluar melalui vas deferens, tubuh secara alami menyerap kembali sperma tersebut melalui proses biologis yang aman dan alami.
Berita yang juga sedang banyak dibahas adalah tentang kebijakan dari gubernur Provinsi Jawa Barat Dedi Mulyadi yang mewacanakan KB Vasektomi sebagai syarat penerimaan bantuan sosial (bansos). Tentu hal ini memantik banyak kontroversi di masyarakat mulai dari komentar serius sampai ke arah meme guyonan. Opini penulis, dengan menjunjung tinggi hasil kesepakatan ICPD 1994, kontrasepsi harusnya dijalankan dengan penuh sukarela dan tanpa paksaan. Berbicara tentang kontrasepsi dengan pemaksaan, ada beberapa spektrum yang dikategorikan ke dalam pemaksaan. Dengan model kebijakan demikian, pendekatan pemaksaannya lebih ke spektrum scare tactics atau menebar ketakutan, dengan tidak mendapatkan bantuan sosial apabila tidak menjalani vasektomi. Padahal, kontrasepsi dan bantuan sosial bisa menjadi dua diskursus yang sama-sama penting dan berbeda.
Vasektomi harus dilakukan berdasarkan kebutuhan dan consent, sebagai media untuk mengatur kelahiran, bukan semata untuk mengontrol populasi dengan kelas subordinat. Dengan mensyaratkan vasektomi untuk mendapatkan bantuan sosial sama saja dengan menciptakan kondisi terselubung bagi kelompok masyarakat rentan juga melanggengkan stereotip bahwa masyarakat miskin tidak boleh memperbanyak keturunan. Ini sedikit banyak mendekati kembali praktik euginika negatif.
Perspektif Sosial Budaya: Konstruksi Gender, Power Relation, dan Agama
Pembahasan mengenai kontrasepsi, lebih spesifiknya vasektomi juga membawa konsekuensi sosial terhadap konstruksi gender dan seksualitas. Dewasa kini mulai berkembang suatu norma terkait otoritas tubuh bagi perempuan (bodily autonomy), di mana perempuan berhak penuh untuk membuat keputusan atas tubuhnya sendiri. Termasuk hak untuk memilih menggunakan atau tidak menggunakan kontrasepsi. Namun dalam praktiknya kerap kali perempuan menanggung beban kontrasepsi lebih berat, mulai dari saat pengambilan keputusan, merasakan efek samping serta kontrol reguler.
Lingkungan sosial masyarakat kita yang masih patriarkis memandang vasektomi sebagai metode yang cenderung dapat mengganggu sisi psikologis maskulinitas pihak laki-laki karena dianggap tidak lagi mampu untuk memiliki anak. Konstruksi gender yang seperti ini dan diperberat dengan naluri ilmiah paternal role yang tidak terkontrol pada laki-laki dapat menimbulkan kepanikan dan ketidaktenangan secara batin. Stereotip tersebut menyebabkan sedikit laki-laki yang berani memiliki keputusan bulat untuk melakukan vasektomi. Alih-alih dapat memperkuat otoritas tubuh bagi perempuan, kondisi ini justru semakin menghambat.
Tindakan vasektomi juga menjadi gambaran bagaimana relasi gender dijalankan dalam keluarga. Diskusi terbuka dan pembagian peran reproduksi ketika suami melakukan vasektomi menunjukkan relasi yang lebih setara. Hal ini menggambarkan suami bertanggung jawab dengan memberi dukungan langsung bagi istri dalam perencanaan keluarga. Namun yang terjadi di masyarakat kita, masih terjadi kuatnya dominasi laki-laki dalam membuat keputusan penting, misalnya tentang jumlah anak. Terlebih juga dihadapkan pada tantangan lain yakni sedikitnya opsi kontrasepsi bagi pria sehingga menyebabkan belum semua perempuan dapat secara bebas menentukan pilihan bagi tubuhnya. Problem ini dapat diatasi sebetulnya dengan meningkatkan kesadaran kesetaraan dalam hubungan keluarga.
Dari tinjauan agama, beberapa kelompok pemeluk agama menolak karena memandang tindakan vasektomi yang permanen ini dinilai sebagai bentuk mengubah ciptaan Tuhan serta jauh dari rasa syukur. Tiap-tiap agama juga memiliki pertimbangannya masing-masing yang dibahas dan telah disepakati oleh para pemuka agama. Seperti halnya bahasan etis-teologis dalam Agama Kristen ada aliran yang membolehkan, dan ada kaul yang melarang. Dalam Agama Katolik diperbolehkan dengan tujuan dan moral objek yang baik. Sedangkan dalam Agama Islam diperbolehkan melalui fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) asalkan dengan niat bahwa Tandzimun-Nasl atau membatasi keturunan untuk niat menjaga kualitas keturunan, menjadi keluarga sakinah mawaddah dan rahmah.
Refleksi: Saatnya Bicara Kontrasepsi Pria
Vasektomi memang bukan untuk semua orang. Namun, mengesampingkan metode ini karena stigma dan ketidaktahuan justru menutup pintu bagi pria untuk berkontribusi aktif dalam perencanaan keluarga.
Baiknya pengetahuan tentang kontrasepsi harus dipelajari dalam porsi yang sama baik bagi laki-laki dan perempuan. Pola yang terjadi selama ini laki-laki hanya diberikan sosialisasi tentang vasektomi dan kondom, serta perempuan hanya tentang pilihan opsi bagi perempuan. Hal ini menyebabkan pasangan tidak memahami dengan detail apa yang terjadi pada tubuh pasangannya terkait penggunaan kontrasepsi yang dipilih.
Di era kesetaraan gender, tanggung jawab kontrasepsi seharusnya menjadi keputusan bersama, bukan beban yang hanya dipikul perempuan. Membuka ruang diskusi tentang vasektomi secara jujur, edukatif, dan inklusif adalah langkah penting dalam mendorong kesetaraan dan memperluas pilihan bagi keluarga Indonesia.
Dengan evidence-based approach, pelibatan tokoh masyarakat dan agama, serta edukasi yang menyeluruh, vasektomi bisa menjadi alternatif yang layak untuk sebagian pasangan. Bukan sebagai tindakan ekstrem, tetapi sebagai bentuk tanggung jawab dan kesadaran terhadap masa depan keluarga.