YOGYAKARTA – Kartu Menuju Sehat (KMS) dan Kartu Kembang Anak (KKA) merupakan dua instrumen relatif sederhana yang bisa digunakan oleh kader dan orangtua dalam memantau tumbuh kembang anak dan dengan demikian dapat mendeteksi secara dini resiko anak mengalami stunting.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi pada kegiatan Koordinasi Lintas Sektor Percepatan Penurunan Stunting Melalui Pemantauan Tumbuh Kembang Anak Menggunakan KMS dan KKA, Rabu (31/01/2024) bertempat di Auditorium2 lantai 1 Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Diskusi lintas sektor ini digelar Perwakilan BKKBN bekerjasama dengan Pusat Kajian Kespro dengan narasumber dari Bappeda dan Dinas Kesehatan DIY serta dihadiri segenap pemangku kepentingan dalam pengentasan stunting.
KMS (Kartu Menuju Sehat) yang dirancang Kemenkes yang digunakan untuk mengukur kenaikan berat dan tinggi badan anak setiap bulan. Dengan memperbandingkan dengan usia dan jenis kelaminnya, maka KMS dapat menunjukkan jika ada gangguan pertumbuhan anak sehingga dapat dideteksi lebih dini dan dilakukan penanganan maupun rujukan yang tepat. Format KMS yang mudah jelas dan mudah dipahami sehingga kader kesehatan di Posyandu maupun tenaga kesehatan lainnya dapat dengan mudah melakukan pencatatan dan membaca hasilnya.
Sebagaimana diketahui, stunting merupakan gangguan karena kurangya asupan gizi dalam wsaktu lama yang tidak hanya mengakibatkan gagal tumbuh (berat dan tinggi badan) tapi sekaligus juga gagal dalam perkembangan baik intelektualitas dan bisa juga disertai gangguan perkembangan motorik. Jika KMS merupakan tool atau alat untuk mendeteksi gangguan atau ketidaknormalan pertumbuhan, maka KKA yang dikembangkan BKKBN merupakan alat dengan format kartu juga untuk pencatatan perkembangan kemampuan anak setiap bulannya.
Dalam Kartu Kembang Anak, tercetak bayi usia 1 bulan seharusnya sudah bisa melirik ke kanan atau kiri. Lalu, bayi usia 2 bulan bisa membalas tersenyum, usia 3 bulan bisa menegakkan kepala, dan seterusnya hingga bulan ke 36. Setelah 36 bulan pencatatan dilakukan 3 bulan sekali sampai selesai pada usia 76 bulan. Jika anak tak dapat melakukan hal yang sesuai usianya di lajur kemampuan, maka di lajur pesan sudah ada instruksi spesifik. Misal, anak usia 42 bulan tak bisa memasang kancing dengan benar. Jika ditarik garis ke kanan, maka pesannya adalah “ajari anak berpakaian lengkap”. Dengan orang tua dan pengasuh/keluarganya dapat mengupayakan laatihan sesuai kemapuan yang seharusnya dapat dilakukan anak.
Jika dalam tiga bulan masih belum dapat mencapai kemampuan sesuai umurnya, maka hal tersebut merupakan pertanda atau peringatan bahwa anak memiliki masalah yang harus diberikan aterapi atau rujukan yang sesuai. Dengan menggunakan baik KMS maupun KKA secara paralel, maka tumbuh kembang anak dapat terpantu, sehingga kecenderungan ke arah stunting dapat dideteksi lebih dini dan langkah penanganan dapat secepatnya diambil.
Dekan FKKMK UGM Prof Yobi Mahendradata selaku tuan rumah menyambut kegiatan ini yang merupakan bukti nyata kolaborasi erat BKKBN, Fakultas Kedokteran Umum (FKU) UGM dan stakeholder terkait dalam sinergi dalam menanggulangi masalah serius bangsa yakni stunting. Mahendradata menambahkan, stunting tidak hanya soal kesehatan tetapi mencerminkan pembangunan sebuah bangsa.
Prof Dr dr Siswanto Agus Wilopo SU, MSc, ScD yang tampil sebagai salah satu narasumber mengungkapkan kendala yang terkait pengentasan persoalan stunting ada pada pelaksanaan intervensi spesifik (upaya langsung perbaikan gizi) dan intervensi sensitif yang mengatasi faktor-faktor “pendukung” terjadinya stunting.
“Dalam bidang kedokteran determinan sosial ini sensitf dimana penanganan diperlukan koordinasi dari berbagai sektor. Solusinya berkumpul seperti hari ini” tambahnya.
Kepala Perwakilan BKKBN DIY Dra. Andi Ritamariani M.Pd. selain menyampaikan tentang pentingnya penggunaan KKA sebagai salah satu instrumen pemantauan dini timbulnya stunting juga menyampaikan optimismenya bahwa di DIY stunting dapat diturunkan di bawah target nasional. Ritamariani menyinggung Kota Yogyakarta yang pada 2022 sudah berada pada angka stunting 13,8 persen atau lebih baik dari target nasional 14 persen. Untuk tahun 2023 hasil pengukuran dengan survei oleh Kemenkes belum dirilis, namun diyakini angkanya semakin turun.
Pihaknya mendorong agar di tingkat lini lapangan para Penyuluh KB dan para Kader termasuk Tim Pendamping Keluarga untuk lebih mencermati penggunaan KKA dan KMS sebagai instrumen deteksi dini stunting.
Mengenai penggunaan KMS dijelaskan lebih lanjut oleh narasumber Endang Pamungkasiwi M.Kes, Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan DIY. KMS merupakan bagian dari Buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Setelah dilakukan penimbangan berat badan, petugas akan memberikan titik pada KMS, sesuai dengan hasil timbangan dan usia anak. Titik tersebut dihubungkan dengan titik hasil pengukuran pada bulan sebelumnya dengan menggambar sebuah garis sehingga akan membentuk grafik.
Pada KMS balita, bila grafiknya menunjukkan kategori tidak naik (di atas garis oranye atau garis merah), kader atau petugas kesehatan akan melakukan rujukan ke fasilitas kesehatan untuk memastikan apakah ada gangguan pertumbuhan. Sedangkan Andreas Bayu Nugroho dari Bappeda DIY menyampaikan mengenai Penguatan Koordinasi dan Konvergensi Percepatan Penurunan Stunting.
Penulis: FX Danarto SY